Senin, 01 September 2008

’’Nyuwun Duka’’ Pak Madi

Saya tahu sejak dulu bahwa Pak Madi, panggilan akrab untuk Dr (HC) Soemadi M Wonohito, itu tokoh pers dan pemilik harian Kedaulatan Rakyat di Jogjakarta. Tapi sampai sudah 10 tahun saya memimpin Jawa Pos saya masih belum kenal dan belum pernah bertemu beliau. Mungkin karena perbedaan umur yang jauh. Mungkin juga karena Pak Madi jarang mau muncul di pentas hura-hura orang pers di Jakarta. Sedang saya, sepuluh tahun pertama memimpin Jawa Pos boleh dikata amat jarang keluar dari dapur: konsentrasi penuh, fokus dan merawat Jawa Pos seperti merawat bayi.
Memang saya pernah ke kantor Kedaulatan Rakyat, namun hanya di percetakannya. Yakni percetakan yang waktu itu masih sangat baru dan tergolong modern. Kecepatannya 40.000/jam, sistemnya double plate, empat unit dan buatan Jerman. Namanya Uniman 2/2. Sedang Jawa Pos saat itu baru memiliki percetakan yang sangat kecil, kuno dan hanya 1 unit. Saya datang ke percetakan itu untuk melihat betapa modernnya percetakan KR. Mesin seperti itulah yang kami impikan dan kelak di tahun 1984 berhasil kami beli. Setelah itu tiap dua tahun Jawa Pos membeli mesin cetak baru yang kapasitasnya jauh lebih besar.
Suatu hari di tahun 1989, saya membaca berita koran mengenai musibah yang menimpa Pak Madi dan Kedaulatan Rakyat. Yakni berita bahwa hampir semua tenaga redaksi KR (mulai dari pimpinan redaksinya hingga reporternya) secara mendadak dan serentak menyatakan berhenti untuk pindah ke koran baru di Jogja.
Saya bisa membayangkan paniknya Pak Madi –meski belum bisa membayangkan orangnya seperti apa. Maka secara spontan saya telepon Pak Madi. Saya sampaikan rasa simpati saya. Lalu saya tawarkan apa saja bantuan yang diperlukan agar KR tidak terganggu oleh eksodusnya tenaga redaksi yang begitu dramatis.
Saya tahu Pak Madi tidak kekurangan uang, kertas atau logistik lainnya. Karena itu Pak Madi hanya memerlukan bantuan tenaga redaksi. Maka hari itu juga saya kirim dua orang tenaga redaksi yang kira-kira bisa mengoordinasikan penerbitan darurat. Yang saya kirim antara lain Surya Aka, yang waktu itu sudah menjabat koordinator liputan. Jawa Pos memang masih kekurangan orang, namun membantu mengatasi krisis di KR lebih penting.
Pak Madi sendiri pernah bercerita pada saya betapa paniknya malam itu. Bukan saja ditinggalkan redaksinya, tapi juga kehilangan naskah-naskah berita yang sudah disiapkan. Tapi jiwa kewartawanan Pak Madi muncul. Pak Madi dengan segala cara mempertahankan agar KR tetap terbit hari itu, seperti apa pun mutunya. Pak Madi seperti terpanggil jiwa heroiknya untuk mempertahankan kelangsungan hidup KR. Saya hanya membantu di belakangnya.
Cukup lama saudara Surya Aka berada di Jogja, ikut memimpin secara darurat penerbitan KR. Sampai lima bulan. Agustus- Desember 1989. KR selamat dari malapetaka. Bahkan ketika saudara Surya Aka sudah bisa kembali ke Jawa Pos di bulan Januari 1990, oplah KR justru sudah 50% lebih besar dari sebelum ditinggal para redakturnya itu. Sedang Koran baru yang dibangun investor dari Jakarta itu kian lama kian pudar dan akhirnya mati sama-sekali.
Suatu saat saya diminta Pak Madi untuk sama-sama ke Jakarta, menemui tokoh penting asal Jogjakarta: Probosutejo. Itulah pertama kalinya saya bertemu Probosutejo, adik tiri Presiden Soeharto itu. Di situ saya baru tahu Pak Madi lagi cari tokoh yang bisa melindungi kalau-kalau ada musibah politik yang menimpa KR. Kala itu keberadaan koran memang sangat rawan: kapan saja bisa dibredel. Apalagi KR berada di Jogja yang tentu masuk radar pengamatan istana. Salah sedikit bisa berbahaya.
Pak Madi, dengan gaya dan bahasa Jogjanya mengutarakan segala maksudnya dengan bahasa penuh terselubung. Saya bisa meraba maksud yang sebenarnya karena sebagai anak Magetan, budaya saya tidak banyak berbeda dengan budaya Jogja. Pak Madi berusaha apa saja untuk menyelamatkan korannya.
Kami punya kenangan manis dengan Pak Madi dan Kedaulatan Rakyatnya. Juga kenangan solidaritas yang sangat baik. Sayang, kenangan ini sempat rusak gara-gara koran kami di Jogja menulis serentetan berita mengenai pribadi Pak Madi. Saya tidak tahu sama sekali karena saya berada di Surabaya. Kami tidak pernah mengikuti isi koran kami yang di Jogja waktu itu.
Saya tidak mempersoalkan benar salahnya berita tersebut. Juga tidak mempersoalkan sisi hukum di balik itu. Sebagai orang yang punya kenangan manis dengan Pak Madi, saya segera ke Jogja. Saya temui Pak Madi, saya cium tangannya dan sebagai orang yang lebih muda saya ucapkan serentetan kata “nyuwun duko”.
Pak Madi lantas curhat yang mendalam kepada saya. Dia tunjukkan pada saya sesuatu yang baru dia ambil dari lemarinya. Saya kaget. Barang yang beliau ambil ternyata tulisan tangan saya yang sudah diabadikan dalam bentuk tulisan timbul. Pak Madi juga menunjukkan betapa banyak tulisan saya yang dikumpulkannya dan disimpannya. Berkali-kali Pak Madi menyampaikan betapa selama ini mengagumi dan ingin mengikuti jejak saya, namun kemudian terganggu oleh pemberitaan yang dibuat anak buah saya.
Sekali lagi saya “nyuwun duko”. Tapi mungkin itu memang belum cukup memuaskan hati Pak Madi. Setidaknya saya merasa seperti itu. Karena itu ketika saya dan Pak Madi bersama-sama berada di atas panggung untuk jadi pembicara di seminar yang diadakan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Bandung, saya ulangi sopan-santun ketimuran itu. Bahkan di forum besar tersebut saya cium kakinya di depan umum.
Setelah itu saya tidak pernah bertemu lagi. Saya sendiri kemudian menderita sakit yang parah. Liver saya terkena sirosis dan kemudian terkena kanker. Tiga buah kanker yang salah satunya sudah berukuran 6 cm berada di liver saya. Tidak ada jalan lain, saya harus ganti hati.
Setelah saya berhasil ganti hati itu Pak Madi kirim SMS ke saya. SMS itu dalam bahasa Jawa kromo yang sangat santun. Pak Madi mengungkapkan rasa syukurnya bahwa saya selamat dari maut yang sudah terasa dekat. Saya balas SMS itu dengan ucapan terima kasih dalam bahasa kromo inggil.
Bulan lalu sebenarnya saya ke Jogja. Tapi acara saya begitu padat. Saya menyesal tidak menemui Pak Madi hari itu. Terutama karena saya tidak mengira kalau Pak Mati akan pergi selamanya secepat ini. “Nyuwun duko” Pak Madi. Saya hanya bisa mengucapkan selamat jalan, berdoa setulus-tulusnya untuk kelapangan jalan Pak Madi ke surga. Saya juga tidak sempat melayat karena saya ke Singapura dan terus ke Kamboja. ***

Tiga Sikap Pengusaha terhadap Kiprah PKS

Saya memang diminta untuk jadi salah satu pembicara dalam pertemuan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta 26 Agustus lalu. Bersama saya adalah Sandiaga Uno, tokoh muda yang sukses jadi pengusaha besar yang fenomenal dan baru saja terpilih sebagai Entreprenuer of The Year 2008. Saya sendiri pernah terpilih untuk penghargaan yang sama enam tahun yang lalu.
Ada juga Irman Gusman, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Hidayat Nurwahid ( Ketua MPR) dan Erlangga Hartarto, pengusaha muda, tokoh DPP Golkar. Di antara yang hadir adalah pimpinan puncak PKS seperti Tifatul Sembiring dan tokoh baru seperti Adang Darajatun.
Tema pertemuan itu adalah “Nasionalisme di Tengah Globalisasi”. Saya agak heran mengapa PKS membahas soal itu. Tapi seorang pembicara membisikkan kepada saya bahwa PKS memang lagi berusaha keras untuk menjawab banyak anggapan bahwa partai itu diragukan nasionalismenya. Dasar partai itu yang Islam, serta pembawaan sehari-hari anggota partai itu yang Islami serta budaya memelihara jenggot di kalangan pimpinannya rupanya banyak disalahartikan oleh pihak di luar partai.
Saya sendiri sebenarnya kurang sreg dengan sikap PKS yang kemudian sampai perlu mengadakan seminar ini. Saya kemukakan di seminar itu, bahwa saya tidak pernah mendengar ada yang meragukan nasionalisme PKS. Partai ini tidak pernah mengemukakan konsep negara federasi. Juga tidak pernah terdengar bersimpati pada upaya kemerdekaan Aceh di masa lalu. Demikian juga, cukup tegas dalam menyikapi usaha separatisme di Papua.
Kalau toh banyak orang mempertanyakan adalah sikap kebangsaan PKS. Apakah PKS benar-benar menerima kenyataan bahwa bangsa Indoensia ini majemuk dan kemajemukan ini harus dihormati. Juga apakah PKS setia pada demokrasi dan bukan hanya membuat demokrasi sebagai langkah awal untuk menang saja. Setelah menang kemudian mengingkari demokrasi dan kemajemukan bangsa. Bagian ini yang menurut pendapat saya harus terus disampaikan kepada masyarakat luas, bagaimana sebenarnya sikap PKS itu.
Ketika salah seorang peserta bertanya apakah pengusaha tertarik masuk PKS, saya agak sulit menjawab. Saya terbentur pada dilema apakah harus bicara apa adanya, atau agak berdiplomasi. Akhirnya saya jawab apa adanya. Saya kemukakan, terhadap PKS pengusaha menyimpan tiga sikap. Pertama, mengagumi PKS akan kejujuran, kebersihan dan sikap santun politiknya.
Kedua, mulai menaruh kepercayaan tapi belum sepenuhnya. Kepercayaan itu tidak bisa tumbuh seketika. Kepercayaan itu, kata saya, tumbuhnya sangat lama: menunggu dari waktu ke waktu apakah pihak yang dipercaya benar-benar bisa membuktikan bahwa dia bisa dipercaya. Apakah ucapannya, komitmennya dan tindakan nyatanya tidak pernah berbeda. Dalam “proses mempercayai” itu bisa saja tiba-tiba muncul tidak bisa percaya lagi, bisa jadi muncul sikap semakin percaya. Di mata pengusaha umumnya, PKS masih di tengah-tengah proses itu. Ketiga, banyak pengusaha yang takut, jangan-jangan nasib usahanya kelak tidak prospektif.
Di bagian akhir itu Sandiaga Uno, yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya sebagai Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu , memberi penjelasan yang lebih baik. “Pengusaha itu selalu berpikir long term, jangka panjang. Pengusaha selalu ingin ada jaminan kepercayaan jangka panjang,” ujarnya.
Saya, meski sering mengemukakan hal yang sama, tidak bisa merumuskan kata-kata sebaik Sandiaga Uno itu. Inilah perbedaan terjauh antara pengusaha dan politisi. Pengusaha berpikir jangka amat panjang, politisi berpikir lima tahunan.
Karena harus bicara nasionalisme, maka hari itu saya menegaskan bahwa ke depan nasionalisme sempit tidak akan laku lagi. Apa pun yang sempit-sempit tidak akan ada pasar lagi. Nasionalisme yang laku ke depan adalah nasionalisme yang longgar dan nasionalisme yang berkemakmuran.
Secara bergurau, saya pun mengemukakan ada baiknya PKS juga mengubah ideologi menjadi ideologi kemakmuran. Dan supaya tetap Islami, maka bisa saja kemakmuran yang ditawarkan adalah kemakmuran dunia dan akhirat.
Diskusi kemudian membicarakan apa yang saya kemukakan bahwa mayoritas rakyat masih akan memilih pemimpin atau partai “yang menarik” dan belum memilih “yang penting”. Semua orang, untuk terpilih, kini harus memperhatikan sisi “menarik” dan sisi “penting” ini. Kalau hanya mengandalkan sisi “menarik” saja mungkin akan terpilih tapi negara tidak akan maju. Kalau hanya mengandalkan “penting” saja, mungkin tidak akan terpilih.
Akan sangat sulit mencari calon pemimpin yang memenuhi kriteria “penting” dan “menarik” sekaligus. Yang terlihat sekarang, banyak yang hanya “menarik” saja atau “penting” saja. Seharusnya kita hanya bersandar kepada yang “penting” saja, tapi kenyataan di masyarakat, suara terbanyak masih belum bisa membedakan “yang penting” dari “yang menarik”.
PKS pun sebaiknya juga melihat ke dalam dirinya apakah sudah memenuhi dua unsur itu, baik partainya maupun calon yang akan dipromosikannya.

Catatan Setahun Setelah Ganti Hati (2)

Was-Was Tergoda Masakan Pedas India

Dua hari terakhir menjelang satu tahun itu, tantangannya lebih besar. Bukan saja saya harus ke India yang lagi musim hujan, tapi juga harus menghadapi makanan India yang serba pedas. Bukankah lombok paling pedas di dunia ada di India? Lombok itu namanya Bhut Jokolia yang artinya lombok setan. Pedasnya sampai 1.080.000 SHU. SHU adalah satuan pedas, sebagaimana celsius untuk temperatur. Di Indonesia, lombok yang paling pedas hanya 300.000 SHU.
Maka selama di India saya harus hati-hati. Paling-paling saya hanya makan kare ayam. Atau ayam kare. Atau kare dan ayam. Mulai besok, karena sudah lewat satu tahun, baru saya akan mencoba makanan India yang lain pelan-pelan.
Ketika dalam perjalanan ke Metro TV pun saya sudah was-was. Hujan lebat melanda Jakarta. Saya sangat khawatir itu akan membuat saya flu. Tapi ternyata saya bisa menghindari hujan berkat mobilnya bisa langsung masuk ke studio.
Malam itu, saya dijemput satu keluarga di bandara Jakarta untuk diantar ke studio dan setelah acara selesai diantar kembali ke bandara untuk terus ke India. Keluarga itu punya masalah dengan anak lelakinya yang terkena sakit liver. Berbagai dokter sudah didatangai termasuk selama sebulan di Singapura. Karena sakitnya tidak beres, keluarga itu ngotot ingin bertemu saya. Tapi waktu saya ya hanya antara bandara-MetroTV-bandara.
Di sepanjang perjalanan itulah kami mengobrol tentang menyakit anaknya. Lalu kami sepakat untuk pergi bersama-sama mencari jalan keluar yang lebih tepat dua minggu lagi.
Malam itu program Kick Andy mengundang orang-orang yang merasa terinspirasi dari menonton program itu. Salah satunya yang merasa terinspirasi setelah menonton topik Ganti Hati yang menampilkan saya beberapa bulan lalu. Namanya Ayu dari Malang. Dia sudah tiga kali mencoba bunuh diri karena merasa tidak mampu keluar dari kemelut hidupnya. Antara lain karena hamil di luar nikah. Bahkan dia bertekat akan bunuh diri sampai berhasil.
Tapi setelah menonton penayangan “ganti hati” dia urungkan niat bunuh diri. Dia justru menyatakan akan mendonorkan bagian mana saja dari tubuhnya yang diperlukan orang lain. “Hidup ternyata tidak pernah sia-sia,” kata ayu. Saya tidak tahu kapan rekaman itu akan ditayangkan karena belum lagi rekaman selesai saya sudah harus kembali ke bandara untuk langsung ke India.
Memang selama setahun ini, banyak sekali orang yang bertanya mengenai berbagai penyakit kepada saya. Tentu selalu saya tegaskan bahwa saya ini bukan dokter. Tapi mereka minta saya ikut membantu saran. Maka tiada hari tanpa telepon atau SMS dari orang yang memerlukan pemikiran seperti itu. Beberapa di antaranya langsung minta diantarkan menjalani operasi. Sebagian sudah pada pulang. Dua orang di antaranya kini lagi di Tianjin menunggu pulang. Operasinya sudah berhasil.
Sebenarnya saya akan melewatkan satu tahun ganti hati di Tiongkok. Di samping check up satu tahunan, juga menonton pembukaan Olimpiade. Tapi ternyata saya harus ke India sehingga tepat tanggal 6 Agustus saya berada di belahan utara India. Mudahan pagi ini kerusuhan merada dan bandara tetap dibuka. Kalau tidak maka saya akan langsung saja terbang ke Gujarat.
Kini saya memang lagi menulis buku yang akan saya beri judul “Hati Baru”. Inilah buku yang akan berkisah tentang bagaimana saya merawat dan menjaga hati baru saya selama satu tahun penuh sehingga bisa melewati tahun pertama yang amat menentukan gagal atau tidaknya ganti hati ini. Di buku itu juga akan saya ceritakan kesalahan apa saja yang pernah saya lakukan selama satu tahun ini. Sebenarnya saya ingin bulan ini buku itu terbit, tapi karena kesibukan yang padat membuatnya tertunda. Sampai hari ini baru selesai separonya. Mungkin baru bulan depan bisa hadir ke publik.

Catatan Setahun Setelah Ganti Hati (1)

Berdebar-debar seperti Menunggu Ultah

Hari ini, tepat setahun yang lalu, saya menjalani operasi ganti hati. Hari ini, jam 10.00, tepat setahun yang lalu, saya diberi pakaian warna biru pertanda saya sudah harus disiapkan untuk memasuki ruang operasi yang sangat menentukan apakah saya akan hidup atau mati.
Hari ini, tanpa perencanaan yang matang, saya harus terbang dari New Delhi ke Kashmir. Tentu bersama Robert Lai yang tepat setahun lalu ikut mengantarkan saya masuk ruang operasi. Robert Lai, teman warga Singapura itu, sebenarnya menentang saya pergi ke Kashmir. Sebab sejak tiga hari yang lalu kerusuhan antaretnis dan juga SARA meletus lagi di sana. Tapi saya harus ke Kashmir untuk urusan yang tidak bisa ditunda.
Memang belum tentu akhirnya saya bisa terbang ke Kashmir. Masih harus menunggu perkembangan sampai pagi hari ini. Tadi malam, sebagaimana bisa disaksikan di breaking news televisi CNN, kerusuhan meluas di Kashmir. Kalau tiga hari ini meletus hanya di wilayah Jammu, kemarin berkembang ke Shrinagar.
Kalau keadaan tetap genting seperti itu belum tentu pagi ini saya bisa mendarat di Shrinagar. Mulai kemarin sore bandara ditutup dan angkutan umum di Shrinagar dilarang beroperasi. Maka pagi-pagi ini saya harus pergi ke bandara New Delhi sambil menunggu perkembangan terakhir pagi ini.
Negara bagian Kashmir memang bagian yang paling bergolak di India dari waktu ke waktu. Sudah puluhan tahun seperti itu. Shrinagar adalah ibukota negara bagian Kashmir, tapi hanya untuk sembilan bulan. Pada waktu musim dingin atau salju, ibukota pindah ke Jammu. Begitulah setiap tahun, ibukotanya boyongan rame-rame.
Beberapa hari ini saya memang berada di India. Saya harus melakukan perjalanan mulai dari kota Madras, New Delhi, Kashmir, Gujarat, Bombay dan Bangalore. Itu berarti perjalanan keliling India yang besar itu mulai dari selatan, utara, timur dan barat. Di samping urusan perusahaan saya ingin tahu perkembangan India yang belakangan terus diunggul-unggulkan sebagai kisah sukses menyusul sukses yang diraih Tiongkok. Saking fenomenalnya sehingga dua negara dengan pertumbuhan tinggi itu sering disingkat dengan Chindia yang berarti China-India.
Bagaimanakah rasanya bisa melewatkan masa kritis setahun pertama setelah ganti hati?
Memang, untuk mencapai genap satu tahun itu saya harus berjuang keras mempertahankan hati baru saya. Karena itu semakin dekat genap masa satu tahun semakin berdebar-debar. Bisakah beberapa hari yang tersisa itu bisa saya lewati dengan mulus?
Sejak seminggu yang lalu rasa berdebar itu lebih keras dari biasanya. Saya yang seumur hidup tidak pernah berulang tahun seperti merasa menunggu sesuatu yang patut diulangtahuni. Yakni ulang tahun genap satu tahun ganti hati. Saya menanti datangnya tanggal 6 Agustus seperti seseorang yang sedang memimpikan acara ulang tahun.
Sampai-sampai di beberapa kesempatan, saya sering bicara kepada orang banyak bahwa “seminggu lagi genap satu tahun ganti hati”. Demikian juga ketika tiga hari menjelang tanggal 6 Agustus itu saya diminta ikut rekaman acara Kick Andy lagi, saya mengatakan bahwa “tiga hari lagi saya genap satu tahun menjalani transplantasi hati”.
Bahkan saya sering minta doa restu agar dalam beberapa hari menjelang “ulang tahun” ini saya tidak terkena flu atau sakit perut. “Saya sudah berhasil mempertahankan diri untuk tidak flu selama hampir satu tahun. Jangan sampai di hari-hari terakhir ini saya terkena flu,” kata saya di berbagai acara yang saya hadiri, termasuk di Kick Andy di Metro TV.
Alhamdulillah, sampai tadi malam, tepat setahun setelah ganti hati, saya belum pernah terkena flu. Saya memang dipesani agar dalam setahun setelah ganti hati jangan sampai terkena flu atau sakit perut. Kalau sampai kena dua penyakit itu, maka bisa-bisa itu sebagai pertanda bahwa ganti hati saya mengalami kegagalan. Karena itu saya menjaga diri dengan amat keras untuk menghindari flu dan sakit perut. (bersambung)

Lulusan S1 Saja Cukup Tak Perlu MM

Salah satu acara saya di Jogja pekan lalu adalah menghadiri konferensi mengenai keterkaitan pendidikan magister manajemen (MM) dengan dunia bisnis. Singkatnya apa yang sebenarnya diperlukan oleh dunia bisnis dari pendidikan manajemen yang ada di Indonesia ini.
Acara yang diselenggarakan di MM UGM Jogja itu dihadiri oleh para pimpinan program MM dari berbagai universitas di seluruh Indonesia. Juga oleh para praktisi bisnis dari perbankan, asuransi, industri oksigen dan juga media seperti saya.
Saya menyampaikan terus terang bahwa saya belum pernah melihat kurikulum di program MM. Saya juga tidak tahu komposisi antara pelajaran teoritis, studi kasus dan magangnya. Bahkan saya belum pernah melihat bagaimana bentuk ijazah MM itu. Kalau saja saya pernah melihatnya, maka saya akan langsung tahu bagaimana membuat hubungan yang akan terjadi.
Saya tahu dan menjalani, mengapa dunia usaha memerlukan seorang lulusan S-1 dan tidak cukup kalau hanya SMA. Seorang lulusan S-1 diasumsikan bahwa dia sudah memperoleh pendidikan bagaimana berpikir logis, analitis dan sistematis. Maka yang kita perlukan paling pokok dari seorang lulusan S-1 adalah tiga hal itu. Bahkan dia pintar dalam disiplin ilmu tertentu adalah juga penting, tapi belum yang terutama. Sebab untuk penguasaan materi bidang tertentu, seorang bisnisman akan lebih mengandalkan dari praktik yang dia lakukan ketika mulai masuk bekerja.
Kalau seorang lulusan S-1 berpikirnya sangat logis, analitis dan sistematis, maka dia akan dengan sangat cepat menguasai materi-materi baru yang ada di perusahaan dengan amat cepat dan baik. Bahwa dia memiliki penguasaan materi di bidang itu, memang bisa menambah kecepatan tersebut.
Tapi mengapa perusahaan juga memerlukan lulusan S-1 dengan IP yang tinggi? Saya kemukakan, bahwa IP tinggi diperlukan sebagai penetapam asumsi bahwa lulusan tersebut punya otak yang kapasitasnya cukup besar. Gunanya, untuk menyerap hal-hal baru yang dia temukan ketika mulai bekerja dengan daya serap yang besar. Kalau IP-nya tinggi, kita bisa mengasumsikan bahwa otaknya cukup besar. Buktinya mampu menyerap pelajaran dengan sangat baik. Berarti dia juga akan mampu menyerap hal-hal baru yang dia temukan saat bekerja secara baik pula.
Maka dari seorang lulusan S-1 kita sudah akan mengandalkan sistem berpikir dan kecepatan daya serapnya. Soal penguasaan atas pekerjaannya biarlah didapat secara cepat dari masa awal kerjanya. Semakin lama bekerja akan semakin punya penguasaan pekerjaan yang sangat baik. Termasuk penguasaan bidang manajemen yang dia pelajari dari praktik manajemen di perusahaan tempatnya bekerja.
Pelajaran manajemen itu dia peroleh secara langsung dan praktik dari pimpinan perusahaan, para seniornya dan juga dari hubungannya dengan relasi perusahaan tempatnya bekerja. Di samping dari keinginannya sendiri untuk tahu lebih dalam mengenai bidang manajemen. Kapasitas berpikir, kecepatan menyerap penguasaan pekerjaan dan kemudian karakter yang baik, itulah yang kemudian disebut perjalanan karir.
Dari seorang lulusan S-1 kita masih bisa mengandalkan satu hal lagi: umurnya yang masih muda. Katakanlah umurnya baru 23 tahun. Dengan umur segitu dan dengan kapasitas berpikir yang besar, logis dan analitis maka dalam 3 atau 4 tahun si lulusan S-1 tadi sudah akan sangat menguasai pekerjaan dengan segala persoalannya. Kalau belum juga berarti ada tiga kemungkinan: kapasitas berpikirnya ternyata tidak sebesar yang digambarkan oleh IP-nya, atau dia seorang pemalas, atau lingkungan tempatnya bekerja tidak memiliki sistem dan praktik manajemen yang memadai. Tapi kalau tiga-tiganya ada dan lulusan S-1 yang sudah berpengalaman 4 tahun tadi karirnya belum baik juga, barangkali persoalannya tinggal satu: karakternya kurang baik. Bisa jadi dia seorang yang potensial konflik, bisa jadi seorang yang tidak bisa bekerja dalam tim dan barangkali seorang yang tidak jujur.
Kalau begitu, apa yang diharapkan dari seorang lulusan MM? Sudah pasti bukan kapasitas berpikirnya, bukan penguasaan atas penguasaan pekerjaannya. Dan sudah pasti bukan pula umurnya, karena sudah pasti minimal 2 tahun lebih tua dari seorang lulusan S-1.
Salah satu yang mungkin diperlukan adalah: keahlian ilmu manajemennya. Ilmunya bukan kemampuan manajerialnya. Tapi karena praktik manajerial itu bercabang-cabang, maka sebenarnya kita perlu referensi dari lembaga yang menjelenggarakan program MM. Si lulusan MM itu unggul di cabang manajemen yang mana? Manajemen personalia? Manajemen pemasaran? Manajemen keuangan?
Maka dalam forum di UGM itu saya bertanya: tergambarkah di dalam ijazah MM itu di bidang manajemen yang mana nilainya lebih tinggi? Agar dunia usaha bisa langsung memplot bidang tugasnya? Kalau tidak, maka pelaku usaha akan tetap memperlakukan lulusan MM sebagaimana memperlakukan lulusan S-1. Artinya harus dites dulu, lalu dicoba dulu beberapa waktu ditempatkan di beberapa bagian sebelum akhirnya ditemukan di mana tempat yang terbaik untuk dirinya. Kalau perusahaan masih harus memperlakukan lulusan MM seperti itu, maka pada dasarnya kecocokan dunia program MM dan dunia usaha masih belum ideal.
Kalau gambaran lulusan itu lebih konkrit, maka lulusan MM akan bisa langsung masuk ke level dua di perusahaan, dengan asumsi perusahaan memang memerlukannya karena tidak semua tenaga lulusan S-1 yang disiapkannya bisa mencapai level itu.
Karena diharapkan masuknya langsung di level dua, maka keinginan perusahaan terhadap lulusan MM adalah kemampuannya untuk melakukan perubahan. Yakni perubahan dalam sistem dan praktek manajemen di lingkungannya. Tanpa kemampuan melakukan perubahan itu maka sebenarnya urgensi program MM juga tidak tinggi. Itulah sebabnya di forum itu saya mengemukakan sebenarnya banyaknya pejabat yang mengambil program MM hanya akan menjatuhkan reputasi program MM. Sebab, setelah menyandang gelar MM mereka toh tidak mampu melakukan perubahan apa-apa. Antara lain karena lingkungan kerjanya yang memang tidak memungkinkannya.

Kehebatan Hong Djien, Bisa Kalahkan Singapura

Sudah lama saya mengagumi Oei Hong Djien, tapi baru ketika berada di Jogja pekan lalu saya sempat berkunjung ke rumahnya di Magelang. Untung teman-teman pengusaha besar dari Jakarta mengajak saya ke sana.
Saya jadi punya kesempatan ikut menikmati koleksi lukisan Oei Hong Djien yang tidak pernah diakui pasti berapa jumlahnya. Hong Djien pasti punya data tepatnya. Dia kan pengusaha tembakau yang sukses. Juga ahli tembakau yang dipercaya perusahaan rokok sebesar Djarum, Kudus. Pasti dia disiplin mengentri data lukisan koleksinya: berapa jumlahnya, apa saja jenisnya, di mana saja mendapatkannya, berapa harga belinya dulu, bagaimana riwayat di balik lukisan-lukisan itu, bagaimana cerita si pelukisnya masing-masing dan seterusnya.
Tapi Hong Djien tidak pernah mempublikasikan jumlah lukisan sebenarnya. Ini khas seorang pengusaha yang sering merahasiakan angka-angka. Juga khas seniman yang kelihatan tidak peduli dengan angka-angka. Hong Djien adalah gabungan dua sosok yang semuanya sukses: pengusaha sukses dan kolektor lukisan sukses. Maka jangan tanya angka padanya.
Meski Hong Djien merahasiakan angka koleksinya, kesan yang muncul bukan kepelitannya. Justru kerendahhatiannya. “Nggak banyaklah…” begitu selalu kata-katanya.
1.500 buah? “Nggaaak laaah…,” sahutnya sambil tertawa lepas terbahak-bahak.
5.000 buah? “Ngaaak laaah…,” katanya yang nyaris ditelan ketawanya. 10.000 lukisan? “Enggaaak…enggaaakk,” tawanya lebih panjang lagi.
Maka berapa sebenarnya jumlah lukisan Hong Djien jadi misteri. Bahkan misteri besar. Sebuah misteri, semakin besar, semakin mengagumkan. Juga semakin membuat penasaran. Tebak-menebak lantas menjadi mitos. Mitos menjadi kharisma. Hong Djien kemudian memang punya kharisma besar dalam dunia seni lukis. Hong Djien sudah sampai pada sosok yang bisa menentukan perjalanan seni lukis Indonesia. Hong Djien sudah bisa menjadi pembentuk harga. Sebagaimana dia juga sudah bisa jadi pembentuk rasa rokok Djarum yang istimewa itu.
“Anda tahu nggak,” kata Melinda Tedja, pengusaha properti raksasa itu kepada saya, “nilai koleksi Hong Djien ini sudah mencapai Rp 5 triliun lebih.”
Melinda memang cepat dalam berhitung. Bukan hanya menghitung harga rumah, tapi juga harga lukisan. Maklum, suaminya, Alex Tedja, belakangan juga lagi gila lukisan. Alex yang pendiam itu kelihatan paling asyik saat menyaksikan lukisan-lukisan koleksi Hong Djien ini. Rumahnya yang luasnya 1 ha di Pondok Indah Jakarta itu kini juga penuh lukisan. Melinda tahu berapa Alex membeli lukisan-lukisan itu sehingga bisa menebak berapa nilai lukisan yang ada di rumah Hong Djien.
Alex juga sering ke luar negeri untuk memburu sebuah lukisan. Bahkan kalau lagi ke Beijing, dia bisa satu minggu berada di sanggar lukis untuk ngobrol dengan pelukisnya,” ujar Melinda.
Benarkah nilai lukisan Hong Djien sudah mencapai Rp 5 triliun? Sebagaimana juga angka jumlah lukisannya, angka rupiah ini pun hanya dia reaksi dengan tertawanya yang ngakak. Kenapa ketawa terus? “Hidup itu harus tertawa. Jadinya sehat. Ketawa adalah obat terbaik,” katanya. “Semakin keras dan semakin lepas ketawa seseorang, semakin sehat dia,” tambahnya.
Meski kekayaannya begitu besar, tapi sosok Hong Djien memang sederhana. Dia sama sekali tidak kelihatan kaya. Bajunya kaus. Sepatunya sandal. Tapi semangatnya memang meluap-luap. Saat mengajak keliling tamu-tamunya, Hong Djien menjelaskannya secara berapi-api. Siapa pelukis itu, bagaimana kehidupan pribadi pelukis tersebut dan dari mana dia memperoleh lukisan itu. “Yang ini saya peroleh dari Rio de Janeiro,” katanya menceritakan beberapa lukisannya.
Hong Djien mengaku sulit untuk bersaing harga lukisan dengan orang kaya. Karena itu setiap diminta sebagai penasehat orang kaya yang akan membeli lukisan Hong Djien selalu mengajukan syarat. “Kalau saya menyenangi lukisan sebuah yang dilihat, si pembeli harus mengalah,” katanya sambil tertawa.
Hong Djien selalu bangga dengan satu persatu lukisan koleksinya. Yang satu dibanggakan karena cara mendapatkannya. Satunya dibanggakan karena kehebatan pelukisnya. Yang lain dibanggakan karena misteri yang ada di dalam lukisan itu. Tapi juga ada yang dibanggakan karena dia “sebagai orang yang tidak kaya” bisa mengalahkan orang kaya. “Pak Ciputra sangat tergila-gila dengan lukisan ini,” ujar Hong Djien mengenai koleksi Hendra-nya. “Saya mampu memilikinya. Dia tidak. Saya bisa mengalahkan orang kaya kan?’ katanya sambil tertawanya meledak.
“Singapur kepingin sekali memiliki lukisan ini. Tapi tidak bisa. Saya bisa. Saya bisa mengalahkan Singapur kan?,” tambah lagi dengan tawa berderai-derai.
Hong Djien memang tidak pernah menjual lukisannya. Berapa miliar pun ditawar. Hong Djien rupanya bersikukuh sebagai pedagang tembakau. Bukan pedagang lukisan.
Gelar dokter saja tidak dia manfaatkan untuk mendapatkan uang. Padahal dia dokter spesialis orthopedi lulusan Belanda. Kelihatannya Hong Djien memang tidak perlu mengumpulkan banyak uang. Karena uangnya memang sudah banyak. Dan Hong Djien kelihatannya orang yang sangat pandai dalam melihat dan memanfaatkan uang untuk kebahagiaannya. Kebahagiaannya di lukisan. Dan uangnya untuk lukisan. Apalagi yang masih kurang?
Oh, ada. Umur panjang. Orang sehebat dia harus berumur panjang. Tahun ini, bulan April tanggal 12 yang lalu, dia berulang tahun ke-69. Angka 69 rupanya dianggap keramat. Bahkan dianggap seksi. Karena itu peringatan ulang tahunnya itu diberi judul “69 nan seksi”. Pesta itu diadakan para seniman Jogja. Sebanyak 69 artis merayakannya dengan lukisan. Hong Djien memang sudah jadi god father para seniman Jogja –yang membuat iri seniman lain di seluruh Indonesia.
Untuk umur panjang itulah sejak lima tahun lalu Hong Djien bikin revolusi jiwa: belajar dansa! Kian hari kian menyukainya. Lalu mencanduinya. Lalu menjadi nafasnya. Kini, sehari dia bisa dansa empat kali. Dia mengajak teman-temannya datang ke rumahnya. Isteri Hong Djien memang sudah meninggal dunia 10 tahun yang lalu. Sang isteri menderita kanker. Hong Djien sudah berusaha mengobatkannya sampai ke Jerman. Di Jerman itulah sang isteri harus berpisah. Hong Djien amat bersedih. Dia sangat mencintai isterinya.
Saat jenazahnya kembali ke Magelang, Hong Djien minta pelukis terkemuka Widayat untuk melukisi peti mati isterinya. Jadilah peti mati itu penuh dengan lukisan yang berbeda di tiap sisinya. Indah sekali. Barulah Hong Djien rela melepaskan kepergian isterinya.
Oei Hong Djien –yang kemdian dikenal dengan singkatan populer OHD—hidup menduda sampai sekarang. Rumahnya meski menghadap ke Jalan Diponegoro, Magelang, tapi terasnya menghadap ke gunung Sumbing yang menjulang tinggi di belakang sana. Di teras belakang yang luas inilah Hong Djien menerima tamu-tamunya. Termasuk kru TV-7 yang hari itu meliput museumnya di bagian belakang kanan dan belakang kiri rumahnya.
Di teras yang luas itu pula Hong Djien berdansa. Berjam-jam. Kalau pun Hong Djien lagi ke luar kota, di luar kota itu pun dia cari-cari waktu untuk bisa berdansa.Suatu saat bos besar Djarum meneleponnya, tapi telepon tidak diangkat. Rupanya ada urusan sangat penting. Bos besar itu terus-menerus meneleponnya. Sampai empat jam. “Ke mana saja?,” tanya si bos besar, empat jam kemudian. “Lagi dansa!,” jawab Hong Djien sambil tertawa lepas.
Saya, katanya, kalau sudah dansa, urusan sepenting apa pun tidak peduli.
Menyenangi dansa apa? “Apa saja. Mulai ballroom sampai latino,” katanya.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Kami semua sudah harus meninggalkan rumah Hong Djien. Bukan karena sudah puas. Tapi karena teman-teman dansa Hong Djien sudah pada tiba. Jam 12.00, bagi umumnya orang adalah jam makan siang. Bagi OHD, adalah jam dansa.

Bertemu Konglomerat di Gudeg Djuminten

Sebenarnya saya hanya berencana setengah hari saja di Jogja. Pagi-pagi tiba, lalu sorenya harus ke Jakarta. Malam itu saya punya janji bertemu dengan orang yang amat penting di Jakarta. Karena itu saya tidak membawa tas, hanya pakai baju ala kadarnya dan sepatu kets yang lama.
Tapi begitu tiba di Jogja, saya diberitahu bahwa saya tidak boleh meninggalkan Jogja. Sore itu saya harus memimpin teman-teman pengusaha besar yang datang dari seluruh Indonesia untuk bertemu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Malamnya juga harus menghadiri acara napak tilas jejak peradaban umat Budha di Borobudur.
“Saya harus ke Jakarta. Amat penting,” kata saya.
“Tidak bisa. Ini sudah aklamasi bahwa Anda yang harus memimpin pertemuan nanti,” ujar Murdaya Poo, konglomerat yang dikenal tidak pernah punya utang itu.
“Saya tidak bawa baju,” sergah saya.
“Saya ambilkan. Saya punya perusahaan batik,” ujar Suryadi Suryadinata, pemilik batik Surya Malioboro, Jogja. Tanpa tunggu komentar saya, dia langsung melesat. Balik-balik dia sudah membawa dua batik untuk saya pilih.
“Saya tidak bawa sepatu,” kata saya.
“Semua orang sudah tahu Anda tidak punya sepatu kecuali kets,” gurau pengusaha kimia besar dari Jakarta.
Pokoknya, saya takluk deh. Tiket ke Jakarta harus saya batalkan. Pertemuan dengan orang yang amat penting itu juga harus saya tunda.
Siang itu saya memang makan siang di warung gudeg Djuminten di Jalan Asem Gede, Jogja. Warung penuh sesak dengan para pengusaha besar yang siang itu banyak yang makan secara santai. Kontan persediaan gudeg ludes. Saya yang mau tambah ayam saja tidak kebagian. Di situ berkumpul tokoh-tokoh Tionghoa Jogja, Semarang, Solo, Jakarta dan Surabaya. Terlihat juga pemilik jaringan mal Sri Ratu dan para pengurus paguyuban marga Hakka.
Sore itu dialog dengan presiden berlangsung satu jam. Sekitar 200 pengusaha hadir. Presiden disertai ibu negara, menteri agama, menteri sekab dan panglima ABRI. Pengusaha penanyakan soal pembangunan infrastruktur, kelancaran penyaluran pupuk untuk petani dan kelancaran distribusi BBM. Presiden menjelaskan banyak hal yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan. Ketua Umum Walubi (Perwalian Umat Budha Indoensia), Hartati Murdaya Poo menyampaikan keinginan pengusaha agar keamanan dan kehidupan sosial bisa stabil seperti selama ini.
Sebetulnya tidak semua yang hadir sore itu umat Budha. Saya lihat ada juga yang Katolik dan Kristen. Maka kepada presiden saya memperkenalkan mereka secara bergurau. “Yang hadir di sini adalah ada yang Budha asli, ada yang budha Katolik dan budha Kristen. Juga ada satu yang budh-is, budha Islam, seperti saya,” kata saya yang disambut tertawa semua yang hadir.
Saya harus angkat topi pada Hartati Murdaya. Ketika banyak pengusaha kembali ke Hyatt Hotel, Hartati tidak kelihatan batang hidungnya. Tengah malam itu dia memimpin teman-temannya sembahyangan di Borobudur sampai larut malam. Bahkan ketika yang lain-lain balik ke hotel Hartati juga tidak kelihatan. Ternyata pengusaha besar itu memilih tidur di kamar wihara di Mendut. “Setiap ke daerah, beliau memang memilih tidur di wihara,” ujar Melinda Tedja pengusaha besar yang juga besan Hartati. “Saya belum bisa seperti beliau, tinggal di tempat yang begitu sederhana,” tambahnya.Tiga hari lamanya Hartati tinggal di wihara. Maklum dia juga harus memimpin bakti sosial umat Budha terhadap 10.000 warga di sekitar Borobudur. Saya sempat berkunjung ke wihara itu untuk melihat kamar Hartati yang begitu sederhana dan bersuasana amat desa. Saya juga melihat persiapan dapur umum yang sedang memasang untuk ribuan orang.