Saya memang diminta untuk jadi salah satu pembicara dalam pertemuan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta 26 Agustus lalu. Bersama saya adalah Sandiaga Uno, tokoh muda yang sukses jadi pengusaha besar yang fenomenal dan baru saja terpilih sebagai Entreprenuer of The Year 2008. Saya sendiri pernah terpilih untuk penghargaan yang sama enam tahun yang lalu.
Ada juga Irman Gusman, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Hidayat Nurwahid ( Ketua MPR) dan Erlangga Hartarto, pengusaha muda, tokoh DPP Golkar. Di antara yang hadir adalah pimpinan puncak PKS seperti Tifatul Sembiring dan tokoh baru seperti Adang Darajatun.
Tema pertemuan itu adalah “Nasionalisme di Tengah Globalisasi”. Saya agak heran mengapa PKS membahas soal itu. Tapi seorang pembicara membisikkan kepada saya bahwa PKS memang lagi berusaha keras untuk menjawab banyak anggapan bahwa partai itu diragukan nasionalismenya. Dasar partai itu yang Islam, serta pembawaan sehari-hari anggota partai itu yang Islami serta budaya memelihara jenggot di kalangan pimpinannya rupanya banyak disalahartikan oleh pihak di luar partai.
Saya sendiri sebenarnya kurang sreg dengan sikap PKS yang kemudian sampai perlu mengadakan seminar ini. Saya kemukakan di seminar itu, bahwa saya tidak pernah mendengar ada yang meragukan nasionalisme PKS. Partai ini tidak pernah mengemukakan konsep negara federasi. Juga tidak pernah terdengar bersimpati pada upaya kemerdekaan Aceh di masa lalu. Demikian juga, cukup tegas dalam menyikapi usaha separatisme di Papua.
Kalau toh banyak orang mempertanyakan adalah sikap kebangsaan PKS. Apakah PKS benar-benar menerima kenyataan bahwa bangsa Indoensia ini majemuk dan kemajemukan ini harus dihormati. Juga apakah PKS setia pada demokrasi dan bukan hanya membuat demokrasi sebagai langkah awal untuk menang saja. Setelah menang kemudian mengingkari demokrasi dan kemajemukan bangsa. Bagian ini yang menurut pendapat saya harus terus disampaikan kepada masyarakat luas, bagaimana sebenarnya sikap PKS itu.
Ketika salah seorang peserta bertanya apakah pengusaha tertarik masuk PKS, saya agak sulit menjawab. Saya terbentur pada dilema apakah harus bicara apa adanya, atau agak berdiplomasi. Akhirnya saya jawab apa adanya. Saya kemukakan, terhadap PKS pengusaha menyimpan tiga sikap. Pertama, mengagumi PKS akan kejujuran, kebersihan dan sikap santun politiknya.
Kedua, mulai menaruh kepercayaan tapi belum sepenuhnya. Kepercayaan itu tidak bisa tumbuh seketika. Kepercayaan itu, kata saya, tumbuhnya sangat lama: menunggu dari waktu ke waktu apakah pihak yang dipercaya benar-benar bisa membuktikan bahwa dia bisa dipercaya. Apakah ucapannya, komitmennya dan tindakan nyatanya tidak pernah berbeda. Dalam “proses mempercayai” itu bisa saja tiba-tiba muncul tidak bisa percaya lagi, bisa jadi muncul sikap semakin percaya. Di mata pengusaha umumnya, PKS masih di tengah-tengah proses itu. Ketiga, banyak pengusaha yang takut, jangan-jangan nasib usahanya kelak tidak prospektif.
Di bagian akhir itu Sandiaga Uno, yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya sebagai Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu , memberi penjelasan yang lebih baik. “Pengusaha itu selalu berpikir long term, jangka panjang. Pengusaha selalu ingin ada jaminan kepercayaan jangka panjang,” ujarnya.
Saya, meski sering mengemukakan hal yang sama, tidak bisa merumuskan kata-kata sebaik Sandiaga Uno itu. Inilah perbedaan terjauh antara pengusaha dan politisi. Pengusaha berpikir jangka amat panjang, politisi berpikir lima tahunan.
Karena harus bicara nasionalisme, maka hari itu saya menegaskan bahwa ke depan nasionalisme sempit tidak akan laku lagi. Apa pun yang sempit-sempit tidak akan ada pasar lagi. Nasionalisme yang laku ke depan adalah nasionalisme yang longgar dan nasionalisme yang berkemakmuran.
Secara bergurau, saya pun mengemukakan ada baiknya PKS juga mengubah ideologi menjadi ideologi kemakmuran. Dan supaya tetap Islami, maka bisa saja kemakmuran yang ditawarkan adalah kemakmuran dunia dan akhirat.
Diskusi kemudian membicarakan apa yang saya kemukakan bahwa mayoritas rakyat masih akan memilih pemimpin atau partai “yang menarik” dan belum memilih “yang penting”. Semua orang, untuk terpilih, kini harus memperhatikan sisi “menarik” dan sisi “penting” ini. Kalau hanya mengandalkan sisi “menarik” saja mungkin akan terpilih tapi negara tidak akan maju. Kalau hanya mengandalkan “penting” saja, mungkin tidak akan terpilih.
Akan sangat sulit mencari calon pemimpin yang memenuhi kriteria “penting” dan “menarik” sekaligus. Yang terlihat sekarang, banyak yang hanya “menarik” saja atau “penting” saja. Seharusnya kita hanya bersandar kepada yang “penting” saja, tapi kenyataan di masyarakat, suara terbanyak masih belum bisa membedakan “yang penting” dari “yang menarik”.
PKS pun sebaiknya juga melihat ke dalam dirinya apakah sudah memenuhi dua unsur itu, baik partainya maupun calon yang akan dipromosikannya.
Senin, 01 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
pak dahlan saya dukung kalo mau jadi presiden...
sayang pak dahlan ga jadi menteri lagi :(
salam dari
perolehan aset tetap
Posting Komentar